Kamis, 23 April 2009

Globalisasi dan Budaya “Aggaragaji”

Oleh: Rahman Arge

TAKUTKAH Anda menghadapi gempuran globalisasi yang dengan tangan besi gurita-nya (oktopusi) mengangkangi dunia lewat kekuatan “pasar”?
Kita di Indonesia yang merupakan bagian dari barisan panjang negeri-negeri lemah (sedang berkembang), setiap kali di (ter)-paksa “gigit jari”, oleh serbuan produk-produk pasar global itu. Kita tergiring ke sudut! Menjadi sekadar objek! Menjadi sekadar pemakai! Menjadi sekadar penonton!

Makna Kebangkitan Nasional se-abad lalu, hari-hari terkahir (Mei 2008) ini, kita coba peringati dengan berbagai cara, bentuk, dan gaya. Dari yang sifatnya kolosal, sampai yang cuma dalam bentuk gumam yang sunyi, di warung-warung kopi, atau di kamar-kamar pribadi.

Dan yang berdengung sampai hari ini, adalah tampilan sang aktor Nagabonar Deddy Mizwar di stasiun-stasiun TV. Salah satu di antara kalimat aktor Deddy yang menggugah, berbunyi: ”Bangkit itu mencuri...! Mencuri perhatian dunia, dengan prestasi!”

Kalimat itu, menyemangati kita untuk bangkit tak lagi dengan omong kosong-omong kosong, tapi dengan karya! Dengan prestasi! Saya kira, seruan-seruan model Deddy, penting kita dengar dan renungi.

Tapi pikir punya pikir, saya pun menemukan sedikit kelemahan pada kalimat-kalimat Sang Aktor. Oke! Inti dari maunya Deddy (dan tentu saja oleh Sang Sponsor), tak lain dari: “Buang sifat-sifat negatif kita, seperti korupsi, minta-minta bak benalu, dan marah atas pelecehan bangsa-ku!” Lalu tiba pada simpul: “ber-PRESTASI-lah!”

Nah, tentang kelemahan iklan tadi, di manakah letaknya? Yaitu: saya tidak menemukan dimensi dari apa yang disebut “proses upaya!” Istilah prestasi adalah terminal ujung dari suatu gerak berkeringat, serta cerdas.

Maka iklan kebangkitan itu, mestinya menekankan pula secara singkat, padat, tentang tahapan “bagaimana”-nya jalan yang ditempuh untuk ber-PRESTASI itu.

Bahwa dengan isi iklan yang dilantunkan dengan dramatis prima oleh Deddy Mizwar, sungguh membuat kita bangkit menatap dunia global, dengan percaya diri! Tapi sesudah itu,--seperti lazimnya kebiasaan kita--ya, tertidur lagi.

Maka, menurut pendapat saya, harus ada iklan kebangkitan susulan, yang menuntun bangsa untuk secara riil menyingsingkan lengan baju dalam gerakan-semesta kreativitas! Untuk mencuri perhatian dunia lewat prestasi!

Globalisasi memang bukan momok yang harus ditakuti. Globalisasi adalah logika sejarah riil yang harus dihadapi. Leluhur kita di Sulsel, bahkan secara simbolis memperagakan nilai keberanian dalam salah satu bentuk-ritualnya: “bertarung dalam satu sarung”.

Pertarungan di sini, saya tak melihatnya semata sebagai pertarungan fisik. Melainkan pertarungan makna-makna!

Di sini, makna keberanian harus berisi nilai kehormatan, untuk bertarung secara fair dialogis! Menghadapi lawan yang (menurut saya) harus ditafsirkan secara baru. Yaitu, “lawan” kita kini adalah setumpuk besar problem bangsa secara internal dan secara eksternal: “tangan besi gurita globalisasi”.

Dalam memperingati se-abad kebangkitan, jelas, inilah pertarungan riil yang harus kita hadapi: “persiapan diri yang total”. Sebab, tanpa totalitas persiapan DIRI,--seperti yang kita alami dalam kurun waktu 60 tahun kemerdekaan,--maka jangan harap PRESTASI (seperti yang diserukan aktor kita), bakal teronggok di tangan.

Persiapan diri, selain pembenahan keilmuan modern kita, jangan pula dilupa, “akar nilai” dari kearifan lokal, yang menjadi kekuatan budaya di seluruh sudut nusantara. Sebagai ilustrasi, di Jepang saya disodori oleh seorang mahasiwa tentang salah satu dari nilai kebangkitan bangsa matahari terbit itu.

Mahasiswa Jepang yang sedang studi di Universitas Kyoto itu, memberi saya buku Japan Number One, Lesson for America, karya seorang penulis Amerika, Ezra Vogel. Tak lupa pula ia bicara banyak tentang pengusaha besar Matsushita.

Salah satu dari inti kebangkitan Jepang, menurut Matsushita, yang saya ingat, ialah apa yang disebutnya: Kinendo. Kata Jepang itu, dapat diartikan sebagai: JALAN MANUSIA.

Kinendo itu dipetik dari akar nilai budaya Jepang masa lalu, yang ditransfer dalam budaya manajerial modern. Itu makanya, manajemen modern Jepang tetap berintikan budaya khas, yang membedakannya dengan manajemen barat.

Dari nilai Kinendo dalam arti nilai manusia, melahirkan “manajemen-Z” yang ternyata berhasil menggebrak dunia. Huruf “Z” itu, merupakan simbolisasi dari pemberdayaan manusia LAPIS BAWAH. Manusia lapis bawah ikut menjadi subjek pembangunan bersama-sama dengan manusia lapis atas.

Kata MANUSIA yang oleh Ishak Ngeljaratan dan saya, selalu diberi tempat dalam pengertian “ber-SESAMA” (dan bukan cuma dalam makna ber-SAMA),--kira-kira begitulah Kinendo-nya Jepang.

Ditarik dalam lingkup budaya Bugis Makassar yang disebut SIRI' dan PACCE,--maka menurut saya,--itulah pula “Kinendo”-nya manusia Sulsel: “Jalan Manusia”. Terurai dalam “manajemen sipakallibiri’.”

Apabila “manajemen-Z” Jepang, manifestasi dari Kinendo, maka SIRI' dan Pacce di kalangan leluhur Bugis - Makassar, juga memanifestasikan kita-kiat-manejerialnya, sebagai cara mengolah HIDUP di dunia nyata.

Orang-orang pintar kita dari perguruan-perguruan tinggi, cobalah teliti bagaimana hubungan dari seruan Nilai Kerja Nene Mallomo tentang Reso Tammangingngi. Dikaitkan dengan “Kinendo”-nya Sulsel, atau “jalan manusia”-nya Bugis-Makassar yang bernama SIRI' dan Pacce itu.

Saya terinspirasi oleh kata-kata bermakna dari Prof Mattulada (almarhum). Ia pernah memberi saya informasi, tentang apa makna TAU bagi orang Bugis-Makassar. Tau atau MANUSIA merupakan capaian tertinggi yang diberikan Tuhan, setelah melalui proses jatuh bangun yang panjang.

Yaitu bermula dari SE'DA (suara), ADA (kata), GAU (perbuatan), dan puncaknya: TAU. Tingkat SE'DA melambangkan ALAM; ADA atau kata -kata mengacu pada proses BUDAYA, GAU, yaitu perbuatan berintikan etos kerja. Dan sebagai simpul dari seluruh proses nilai itu: ya, TAU. Itulah manusia.

Pada hakikatnya, menurut hemat saya (semoga salah), manajemen saling memanusiakan,--sejalan dengan “manajemen TAU” yang merupakan manifestasi “jalan manusianya” (SI'RI -PACCE) manusia Bugis-Makassar.

Adapun PRESTASI (seperti iklan kebangkitannya Deddy Mizwar) menjadi idaman setiap model manajemen. Persoalannya, kembali kepada pertanyaan “bagaimana” mencapai prestasi itu? Soal “bagaimana” ini, secara habis-habisan diolah oleh Jepang, sementara kita dengan gerak “setengah-setengah”, bahkan “tidur”.

Oke-lah. Jangan putus asa! Kita semua tahu. sebagai bangsa yang sudah ber-Reformasi selama satu dekade, kita selalu dihantam oleh TOPAN dari krisis demi krisis.

Jika krisis multidimensi ini, kita ibaratkan angin topan yang menghantam dari depan, maka kembalilah ke prinsip nilai keberanian! Yang secara simbolistis diperagakan oleh leluhur kita dalam ritual bertarung dalam satu sarung. Krisis atau topan, jangan ditakuti, tapi di-MASUK-i!

Sebagai contoh, tekad bulat para pelaut perahu PHINISI, dulu-dulu. Mereka pantang surut ke pantai, dibuktikan saat menghadapi topan! Mulai dari nakhoda dan awak-awak perahu menciptakan kiat (metode) manajemen yang disebut: AGGARAGAJI.

Artinya: Breakthrough! Menerobos secara cerdas dan artistik! Sehingga, perahu lolos dan selamat. Inilah terobosan yang KREATIF dari LELUHUR yang saat ini bisa kita pakai (seusai konteks zaman) menghadapi krisis di “DALAM DIRI”, sekaligus AGGARAGAJI menghadapi GLOBALISASI

1 komentar:

Qonz mengatakan...

Mantap deh artikelnya... entar minta diajari Aggaragaji, sekalian gajian ... hehe..
Salam & sukes selalu, oh ya Bro makasih yah lesson-nya yang kemarin...telah ter-applied dengan bagusnya di blog aku ... hehe

Again salam & see ya again my bro...